Saturday, March 6, 2010

KEKUASAAN SUNDA DAN JAWA

BERBICARA tentang kekuasaan, terutama dalam perspektif Sunda, ada dua hal berbeda yang perlu dibahas: tradisi kekuasaan dan tradisi berkuasa dari sebuah etnis atas suku-suku atau kerajaan lain dalam sejarah politik Nusantara. Yang pertama, yaitu tradisi kekuasaan, dapat dipastikan ada dalam setiap kelompok masyarakat. Di mana masyarakat manusia berkumpul dan hidup bermasyarakat, dapat dipastikan, di situ terdapat seperangkat instrumen dan struktur kekuasaan serta sekelompok kecil elit penguasa yang memimpin, mengatur dan seringkali menjadi penentu arah hidup publik. Sejak dikenal lewat catatan sejarah, diketahui bahwa masyarakat Sunda mengenal tradisi kekuasaan. Tradisi kekuasaan di Nusantara dalam era klasik dalam wujud konkritnya terlihat dari hadirnya institusi politik seperti kerajaan (masa pra-Islam) dan kesultanan (masa pengaruh Islam), atau negara dan partai politik dalam era modern.

Dalam sejarah politik Nusantara, Kerajaan Tarumanagara adalah salah satu kerajaan tertua yang dikenal terletak di daerah Jawa Barat. Dari naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa, diketahui bahwa kerajaan itu berdiri selama kurang lebih 3 abad (abad ke-4 samai abad ke-7) dan telah berlangsung sekitar 12 kali pergantian raja. Masa puncak kejayaan Tarumanagara terjadi pada masa Raja Purnawarman (394 -434). Raja Tarumanagara yang terakhir yaitu Linggawarman mempunyai menantu bernama Tarusbawa. Tarusbawa inilah yang kemudian dikenal sebagai pendiri dan raja pertama kerajaan Sunda yang berkuasa selama kurang lebih 54 tahun (669-723) (Ajip Rosidi dkk., 2000: 649). Kerajaan Sunda sendiri runtuh pada tahun 1579 akibat serangan gabungan Banten dan Cirebon yang sedang meluaskan pengaruh Islam. Adanya Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda (Galuh, Pakuan Padjadjaran dan Sumedang Larang) membuktikan bahwa sejak awal masehi masyarakat Sunda mengenal tradisi kekuasaan dan tradisi politik yang cukup stabil dan panjang. Karenadanya dapat dikatakan bahwa Bila tradisi kekuasaan itu diukur oleh adanya kerajaan Sunda, maka pengalaman politik Sunda telah berlangsung sekitar 14 abad atau lebih.

Yang menarik adalah, mengamati fenomena politik Sunda dalam konstalasi politik Indonesia modern pasca kemerdekaan. Sering muncul pertanyaan bahkan gugatan di kalangan masyarakat Sunda, mengapa orang Sunda relatif tidak memiliki pengaruh dalam percaturan politik nasional pasca kemerdekaan? Mengapa hanya sedikit tokoh Sunda yang berperan sentral dalam pentas politik dan kepemimpinan nasional terutama pada masa-masa awal kemerdekaan? Mengapa muncul asumsi kuat para pengamat asing tentang Indonesia (Indonesianis) -dan asumsi sangat populer dalam studi-studi sosial politik Indonesia– bahwa untuk memahami Indonesia harus memahami Jawa, atau bahwa Indonesia adalah Jawa. Padahal, ketika disebut “Jawa,” dalam konteks geografis, Sunda adalah bagian dari pulau Jawa.

Sejak kekuasaan kerajaan Sunda ditamatkan oleh pengaruh Islam (abad ke-17), sejarah politik Sunda relatif tidak memiliki kelanjutannya. Dominasi kerajaan Sunda digantikan kerajaan Islam Cirebon dan Banten. Pasca kemerdekan, warisan faham dan nilai-nilai kekuasaan Sunda tidak menemukan refleksinya dalam sejarah negara modern Indonesia. 20 tahun masa Orde Lama dan 32 tahun Orde Baru, seperti disinyalir oleh Benedict Anderson (1990) dan Fachry Ali (1986), merupakan refleksi dan manifestasi dari faham kekuasaan Jawa. Kebudayaan Sunda nyaris tidak mewariskan nilai-nilai kekuasaan dalam politik Indonesia modern.

Konsep-Konsep Kekuasaan
Masa/ Pengaruh Sumber/ Asal Kekuasaan Syarat Perolehan Kekuasaan Sumber Naskah
Kerajaan Sunda Silsilah/keturunan raja Putra dewata Carita Prahyangan, Batara Danghyang
Pra Pengaruh Mataram Kabuyutan (Mandala), yang keramat, adikodrati Penguasaan kabuyutan, bertapa di kabuyutan Amanat dari Galunggung
Pengaruh Mataram Pulung (Wahyu) Tertitisi Pulung terdahulu Sejarah Sukapura
Nurbuat, Cahaya Nurbuat Shalat, Munajat, Pdkt. Diri Pangerah Kornel (roman)
Masa Islamisasi(pengaruh Islam) Keturunan/silsilah tokoh besar, tokoh agama Pendirian Kerajaan (Kesultanan Cirebon) Carita Purwaka Caruban Nagari
Pemberian pusaka/gelar Hubungan darah, pertalian saudara, kesinambungan kekuasaan Carita Purwaka Caruban Nagari

Kebudayaan Sunda memiliki konsep tentang kekuasaan. Masalahnya, studi tentang konsep kekuasaan Sunda ini masih sangat jarang dilakukan. Dari yang sangat sedikit ini, mungkin baru Nina H. Lubis yang pernah membahasnya (1998: 56 – 68; 2000: 136 – 149) kendati dalam uraian pendek dan tidak mendalam. Ia hanya menggambarkan perkembangan legitimasi kekuasaan dalam tradisi Sunda tapi tidak menganalisisnya dalam kaitan dengan kondisi politik Sunda modern. Sepanjang sejarahnya, menurut Nina, konsep legitimasi kekuasaan Sunda mengalami beberapa perubahan baik karena pengaruh intern maupun ekstern. Dari uraiannya, perkembangan legitimasi kekuasaan dalam tradisi Sunda dapat diringkas dalam skema 1.

Konsep-konsep kekuasaan Sunda ini, hampir seluruhnya memiliki kemiripan dengan konsep kekuasaan dalam tradisi Jawa, terutama dalam dua cirinya yang menonjol: terjadi beberapa perubahan sesuai perkembangan dan pengaruh-pengaruh luar serta bersifat mistik.

Hanya, berbeda dengan Jawa, yang “tidak ditemukan” dalam tradisi Sunda adalah uraian tentang ide dan sifat kekuasaan yang justru sangat menonjol dalam alam pemikiran Jawa. Menurut Anderson (1990:17-23), dalam tradisi Jawa kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang konkrit, homogen, jumlah keseluruhannya tetap dan kekuasaan tidak memiliki implikasi moral yang inheren. Selain empat ciri tersebut, Frans Magnis Suseno (1984: 98) menambahkan bahwa kekuasaan bagi orang bersifat numinus yaitu bersifat adikodrati. Menurut Fachry Ali (1986: 32), gabungan sifat-sifat ini memiliki implikasi praktek kekuasaan: “konsentrasi atau pemusatan kekuasaan.” Bagi orang Jawa, konsentrasi dan pemusatan kekuasaan bertujuan untuk menghadirkan keteraturan dan menciptakan keselarasan. Sambil mengutip Anderson, Fachry Ali (1986: 32) menulis:

Keteraturan dan keselarasan selalu menjadi obsesi orang Jawa. Obsesi ini yang kemudian melahirkan gejala kekuasaan yang dianggap sebagai sesuatu yang konkret, yang homogen dan tak berbagi. Dan pemencaran kekuasaan hanya akan menyebabkan timbulkan ketidakaturan ataupun berbagai konflik dan huru-hara lainnya. Dan oleh karena itu, sebagian kepustakaan tradisional Jawa lebih banyak membicarakan masalah bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan daripada masalah bagaimana menggunakannya dengan wajar.

Krisis dan Transformasi Kekuasaan Tradisional

SAMA dengan di Jawa, baik masa Hindu atau pengaruh Islam, pusat kekuasaan di Sunda terkonsentrasi pada keraton atau istana kerajaan. Terpusatnya kekuasaan di keraton ini ditunjang oleh legitimasi yang kuat masyarakat Sunda pada rajanya seperti tercermin dari istilah-istilah murbawisesa (pemegang kekuasaan tertinggi), ngawula kanu kawasa (mengabdi pada yang berkuasa), kawula gusti, dewa raja dll di mana raja yang dihayati kekuasaannya tak terbatas adalah sebagai titisan dewa yang wajib ditaati perintahnya.

Tetapi sejak masuknya VOC dan kuatnya kekuasaan Belanda yang menghancurkan struktur kekuasaan tradisional, sejak tahun 1684 seluruh daerah Sunda ditaklukan, tahun 1755 seluruh Jawa Tengah dan Timur dijatuhkan dan sejak tahun 1830 seluruh Jawa sudah berada dalam kontrol pemerintah kolonial Belanda. Sejak itulah, struktur dan pusat-pusat kekuasaan tradisional mengalami krisis, transisi dan keruntuhannya. Tetapi, berkuasanya negara asing tidak praktis menggantikan struktur kekuasaan tradisional yang ada. Penguasaan dan kontrol kolonial ini bersifat tidak langsung. Belanda kemudian memerlukan “kelas menengah” dari kelompok ménak Sunda yang menjadi penghubung antara pemerintah kolonial Belanda dengan rakyat jajahan. Dari sinilah kemudian muncul kelompok elit birokrat tradisional pribumi dalam masyarakat Sunda yaitu bupati dan para pangreh praja. Pangreh praja adalah korps pegawai pemerintahan sipil pribumi. Pangreh praja berarti “penguasa kerajaan.” Hierarki pangreh praja umumnya adalah susunan pejabat yang terdiri dari bupati, patih, wedana, asisten wedana. Di samping itu ada pula pejabat mantri seperti mantri tanah, mantri kopi, mantri tebu, mantri pengairan dll. Sebagai bentukan Belanda, posisi mereka sangat dekat dengan Belanda. Selain memonopoli hubungan dengan penguasa kolonial, mereka adalah wakil golongan pribumi dalam urusan dengan Belanda.

Dengan munculnya elit pribumi yaitu bupati dan pangreh praja ini, maka runtuhnya kekuasaan tradisional (baik Sunda maupun Jawa) tidak berarti hapusnya sisa-sisa kekuasaan tradisional yang ada. Para bupati sebagai elit pribumi memiliki kekuasaan dan memimpin masyarakat. Tetapi sesuai dengan perubahan struktur politik yang terjadi, dimana pemerintah asing Belanda menjadi penguasa, para bupati ini melepaskan kesetiaan dan keterikatannya sedikit demi sedikit pada pusat-pusat kekuasaan tradisional, yaitu keraton, kemudian merubah kesetiaannya dengan mengintegrasikan dirinya pada penguasa yang baru.

Pergeseran Kekuasaan Tradisional:
Keraton (Raja) >>> Kabupaten (Bupati) >>> Institusi modern (Ketua/pemimpin)

Sampai disini, struktur dan sejarah kekuasaan tradisional baik di Sunda maupun di Jawa relatif berada dalam kondisi dan perkembangan yang sama. Yang kemudian berbeda dan kelak Jawa mengkonsolidasikan perannya yang menonjol dalam percaturan politik pasca kemerdekaan adalah periode sejarah yang berkembang sejak kehadiran kelompok birokrat lokal yaitu bupati dan para pejabat pangreh praja ini.

Elit Sunda Dalam Pergerakan Nasional

DALAM perkembangannya, fungsi para pejabat pangreh praja tidak terbatas hanya sebagai penghubung atau komunikator antara kaum pribumi dan penguasa Belanda atau ekspresi kekuasaan asing dalam sosok pribumi. Lebih jauh mereka telah menjadi lapisan elit masyarakat tersendiri yang terus berkembang. Dalam perkembangannya pangreh praja telah mengalami perluasan fungsi sebagai berikut:

1. Menjadi katalisator terhadap tuntutan-tuntutan dan aspirasi-aspirasi baru di kalangan mereka akibat perubahan struktural dan kebijaksanaan politik etis.
2. Menjadi wadah bagi munculnya gerakan-gerakan bersifat institusional dan menjadi wadah saluran kekuasaan.
3. Menjadi ujung tombak perubahan-perubahan sosial.

Karena fungsi yang berkembang seperti di atas, pangreh praja justru telah telah berkembang menjadi agen modernisasi bagi kelompok pribumi. Perkembangan mereka yang signifikan adalah pada posisi sosial dan kemakmuran ekonomi, tetapi yang paling penting adalah hak privilese yaitu akses kelompok ini pada dunia pendidikan modern yaitu STOVIA, HIS dan HBS. Dari 743 orang murid yang bisa bersekolah di STOVIA Batavia pada tahun 1875 – 1904 misalnya hampir semuanya adalah anak-anak pangreh praja: anak-anak pejabat tinggi 146 orang, pejabat menengah 278 orang, pejabat rendah 119 orang. Dari dominasi anak-anak pejabat itu, yang lulus hanya sedikit yaitu 160 orang. Yang lulus paling banyak adalah dari anak-anak wedana dan bupati.

Dapat dikatakan, peranan dan posisi pangreh praja dalam sistem kekuasaan kolonial inilah yang kemudian membedakan peranan sejarah kekuasaan Sunda dari Jawa dalam era modern abad ke-20. Pada awal abad ke-20 hanya anak-anak dari kelompok elit, bangsawan dan pejabat terhormatlah yang bisa memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan modern seperti STOVIA dan sekolah-sekolah Belanda lainnya. Sejarah mencatat, para lulusan pendidikan modern sekolah-sekolah Balanda inilah yang kemudian melahirkan para aktivis pergerakan nasional dan cikal-bakal pemimpin nasional seperti Soekarno, Hatta, Gatot Mangkuprojo, Subardjo, Soetomo, Dokter Tjipto, Gunawan Mangunkusumo dll.. Para aktivis gerakan yang mendirikan Perhimpunan Indonesia misalnya adalah sekelompok intelektual mahasiswa Indonesia yang mengenyam pendidikan Belanda.

Gerakan ini terus bertambah, meluas dan berkembang sampai kemerdekaan dan sampai terbentuknya pemerintahan negara Republik Indonesia. Juga para aktivis pergerakan nasional lah yang awalnya masuk dalam pendidikan elit modern yang kemudian menjadi para pemimpin Negara Indonesia baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru. Para pemimpin di puncak tertinggi inilah -yang rata-rata orang Jawa- kemudian merefleksikan nilai-nilai kekuasaan yang mereka hayati dan internalisasi sejak dari kecil. Pengalaman penghayatan nilai-nilai kekuasaan tradisional Jawa itu begitu berkesan, ditambah model kekuasaan yang otoriter, sehingga memuluskan para penguasa ini mengaplikasikan ideologi dan nilai-nilai tradisionalnya dalam kepemimpinan modern. Dalam konteks inilah nama-nama atau tokoh-tokoh Sunda dan berorientasi Sunda tidak terdengar. Rata-rata para aktifis Jawa lah yang menguasai dunia pergerakan nasional awal abad ke-20, baik yang berhaluan Islam, nasionalis maupun komunis seperti Boedi Oetomo, SI, Muhammadiyah, PI, PNI dan lain-lain.

Walhasil, ketiadaan jejak politik dan kekuasaan Sunda dalam konteks pergerakan nasional dan kepemimpinan Indonesia pasca kemerdekaan adalah sesuatu yang terjadi dan berproses secara alami. Mungkin SDM, jumlah penduduk atau khazanah kekayaan historis kekuasaan Sunda memang tidak mewariskan kebesarannya. Kemunculan kesan kebesaran Jawa dalam Indonesia modern, sepenuhnya berkat kebangkitan kembali manusia Jawa (para aktivisnya) yang mendominasi percaturan politik dan pergerakan nasional. Ketika manusia-mansuia Jawa ini memimpin negara (Soekarno, Soeharto) mereka mendapat kesempatan yang besar untuk mengeksperimenkan kekuasaan Jawa dalam Indonesia modern.

Daftar Pustaka

* Ajip Rosidi dkk. 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia dan Budaya, Pustaka Jaya.
* Ayatrohaedi. 2003. ‘Orang Sunda Salah Memilih Leluhur?,’ Pikiran Rakyat, 2 Januari.
* Anderson, Benedict R. O’G. 1990. Language and Power. Exploring Political Culture in Indonesia, Ithaca and London: Cornell University Press.
* Fachry Ali, Refleksi Faham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, Gramedia, Jakarta: Gramedia.
* Frans Magnis Suseno. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia.
* Nina H. Lubis.1998. Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1900 – 1942, Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
* Nina H. Lubis. 2000. Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda, Bandung: Humaniora Utama Press.

No comments: